“Aset-aset negara eks BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dulu, bebannya kita rasakan sampai 30 tahun. Negara itu sama dengan kita. Kita ketika berutang, gampang. Tapi ketika membayar, kita kan jadi pusing,” ujar Dradjad.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), posisi utang pemerintah tercatat terus bertambah setiap bulannya. Hal ini seiring dengan kebutuhan pemerintah menambal defisit dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Per 31 Juli 2024, jumlah utang pemerintah telah menyentuh Rp 8.502,69 triliun, setara dengan 38,68 persen dari produk domestik bruto (PDB) RI.
Dengan perkembangan tersebut, selama dua periode kepemimpinan Jokowi, utang pemerintah telah bertambah sekitar Rp 5.894 triliun dalam kurun waktu hampir 10 tahun. Jika dibandingkan dengan posisi sebelum rezim Jokowi, utang pemerintah melonjak sekitar 225 persen, atau naik lebih dari tiga kali lipat.
Besarnya beban warisan utang tercermin dari pagu anggaran belanja untuk membayar bunga utang dalam Rancangan APBN (RAPBN) 2025 yang mencapai Rp 552,9 triliun. Angka ini meningkat sekitar 10,8 persen dari outlook pembayaran bunga utang pemerintah tahun ini sebesar Rp 499 triliun.
Bahkan, jika dibandingkan dengan tahun 2020 (Rp 314,1 triliun), pagu belanja bunga utang pemerintah telah melonjak lebih dari Rp 200 triliun.
Siap menghadapi tahun 2025?