Secara khusus, ia menyoroti sejumlah utang pembangunan yang diambil Jokowi pada 2015 dan akan jatuh tempo dalam kurun 10 tahun.
“Dibuat tahun 2015, nanti kerasa. Ketika di dalam pemerintahan Pak Jokowi kan kita ada menggenjot pembangunan infrastruktur, tapi negara alih-alih mencari dana dari, maaf, dari sumber penerimaan, nyarinya dari utang kan,” kata Dradjad dalam salah satu program televisi, Kamis (19/9/2024).
Jatuh temponya sejumlah utang negara ini berpotensi memperbanyak pungutan yang ditarik oleh negara dari rakyatnya. Menambah pungutan dari warga ini dianggap sebagai cara instan untuk mendapatkan uang besar dalam waktu singkat guna melunasi utang-utang tersebut.
“Nanti 2025 kita bayar ya, yang jatuh temponya 10 tahun. Makanya itu di tahun 2025, ketika kita saatnya bayar utang, ya negara harus narikin (pungutan), Narikinnya dari mana? Ya PPN (pajak pertambahan nilai) mau dinaikkan 12 persen, BPJS, kemudian dana pensiun dikumpulkan, segala macam,” jelas Dradjad.
“Yang ujungnya kita semua memang harus ikut menanggung,” tambahnya.
Kelas Menengah Sedang Tidak Baik-Baik Saja
Yang menjadi persoalan adalah, saat ini, kelas menengah Indonesia sedang sesak napas. Badan Pusat Statistik (BPS), misalnya, mencatat penurunan kelas menengah secara signifikan sejak 2019. Situasi ini menyebabkan lesunya daya beli kelas menengah yang konsumsinya selama ini menopang roda perekonomian.
Terlebih, kenaikan upah para pegawai juga tak selaras dengan tingkat inflasi dan kenaikan harga. Selain utang-utang yang ditarik Presiden Jokowi, Dradjad pun menyoroti bahwa fiskal Indonesia masih terdampak dari pengelolaan utang maupun aset negara yang kurang berhati-hati sejak puluhan tahun lalu.