Menurut Kiai Arif, fatwa itu bukan terkait dalam lingkup toleransi. Sebab, kata Arif, dalam sunnatullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan praktik ulama salafus salihin, toleransi tetap memiliki batasan.
“Tidak semua aspek dalam Islam bisa ditoleransi. Yang tidak diperkenankan Islam adalah motif mencampuradukkan wilayah akidah dan ritual keagamaan (sinkretisme/talfiq al-adyan), sehingga mengaburkan garis demarkasi antara wilayah akidah dan muamalah,” kata Arif dikutip melalui website resmi MUI, Minggu (2/6/2024).
Namun, menurut Arif, dalam hal muamalah dan relasi sosial-budaya, toleransi Rasulullah SAW kepada umat beragama lain sangat penting untuk diteladani oleh umat Islam.
Sehingga, terkait muslim yang menjadi pejabat pemerintahan atau pejabat publik saat menyampaikan sambutannya di acara pemerintahan dianjurkan bisa menjalankan fatwa hasil Ijtima Ulama tersebut.
“Pejabat juga diharapkan menggunakan redaksi salam nasional agar semua pihak terangkum di dalamnya. Namun jika hal di atas tidak memungkinkan, maka pejabat publik atau pejabat di pemerintahan juga mendapat alasan syar’i (udzur syar’i) dengan syarat tidak diniatkan sebagai bentuk sinkretisme ibadah,” ujar Arif.
Adapun, hasil forum yang digelar di Bangka Belitung, Kamis (30/5/2024) itu telah memutuskan mengucapkan salam lintas agama bukan merupakan perwujudan dari toleransi.