Dalam menjalankan usaha pertambangan, pihaknya bakal mengembangkan model reklamasi dengan melibatkan program studi tambang, pertanian, kehutanan, teknik lingkungan, dan geologi di sejumlah perguruan tinggi Muhammadiyah.
Muhammadiyah, kata Haedar, merupakan organisasi besar yang telah berpengalaman dan saksama dalam mengelola berbagai amal usaha berorientasi bisnis yang dimiliki.
“Itu semua kami kembalikan untuk kepentingan berbagai upaya pemberdayaan masyarakat,” ujar dia.
Haedar berharap, semua pihak tidak memandang usaha pertambangan yang bakal dikelola PP Muhammadiyah bakal berorientasi pada keuntungan semata.
“Jangan dibayangkan yang serba positif menggembirakan, apalagi serba duit dan Insyaallah kami jauh dari itu,” kata dia.
Sebaliknya, ia juga meminta sektor pertambangan tidak selalu dipandang sebagai suatu ancaman serta kesan buruk lainnya.
“Jangan menganggap dan meletakkannya sebagai sesuatu yang serba pahit, penuh dengan ancaman, dan seakan-akan kiamat kalau kita masuk ke dunia itu. Kita akan tetap dalam posisi moderat, jadi kita lihat sisi positifnya kita cermati dan kita jadikan masukan sisi negatifnya untuk terus kita lakukan kajian sampai pada titik akhir nanti kita menemukan model,” kata dia.
Alasan NU: Kami realistis saja
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau (PBNU) Yahya Cholil Staquf membeberkan alasan organisasinya menerima pemberian izin tambang dari Presiden Joko Widodo. Alasan utama Gus Yahya –sapaan Yahya Cholil Staquf— karena PBNU membutuhkan dana untuk membiayai operasional berbagai program dan infrastruktur Nahdlatul Ulama.
“Pertama-tama saya katakan, NU ini butuh, apapun yang halal, yang bisa menjadi sumber pendapatan untuk pembiayaan organisasi,” kata Gus Yahya di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, Kamis, 6 Juni 2024.
Ia mengatakan mayoritas program Nahdlatul Ulama dikelola oleh komunitas nahdliyin –warga NU. Sementara sumber daya dan kapasitas mereka sudah tidak mampu lagi untuk menopang berbagai program tersebut. Misalnya, kata dia, sekitar 30 ribu pesantren maupun madrasah yang dimiliki oleh nahdliyin.
Gus Yahya mencontohkan satu pesantren di Pondok Lirboyo, Kediri, Jawa Timur yang memiliki 43 ribu santri. Pesantren tersebut memiliki infrastruktur terbatas untuk kebutuhan santrinya. “Satu kamar, kira-kira seluas 3×3 meter itu diperuntukkan bagi 60-70 orang santri,” kata dia.
Kondisi itu, kata Gus Yahya, membuat barang-barang santri harus diletakkan di sembarang tempat. Para santri juga akhirnya terbiasa tidur di sembarang tempat di area pesantren.
Di samping itu, kata dia, muslimat NU juga memiliki ribuan taman kanak-kanak (TK). Namun gaji para pengajar di TK tersebut belum cukup layak. Di antara guru-guru itu ada yang digaji hanya Rp 150 ribu setiap bulan. “Ya, gurunya sih ikhlas semua. Cuman, ya, yang lihat itu kan enggak tega,” ujarnya. “Hal begini ini yang membuat kami dalam keadaan butuh sekali.”
Menurut Gus Yahya, kondisi tersebut yang mendorong PBNU segera membutuhkan interferensi atau campur tangan sesegera mungkin. Sebab jika menunggu afirmasi dari pemerintah secara langsung, PBNU harus melewati birokrasi yang lama dan berbelit-belit. “Kami melihat sebagai peluang, ya segera kami tangkap. Wong (kami) butuh. Mau bagaimana lagi.”