Dalam diskusi tersebut, hadir juga pendiri JagaSuara2024, Hadar Gumay; Direktur Migrant Care, Wahyu Susilo; pendiri Kecurangan Pemilu, Feri Amsari; pendiri OM Institute Okky Madasari, pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmy dan pengajar STF Driyarkara, Yanuar Nugroho.
Luky menyebut, kedua pelanggaran itu diperoleh dari pantauan yang Jaga Pemilu lakukan di hampir 7.000 TPS, baik oleh penjaga pemilu yang teregistrasi, maupun dari masyarakat. Keduanya berbeda dari isu pelanggaran tertinggi sebelum hari H yang didominasi oleh ketidaknetralan aparat.
“Selain salah input Sirekap dan kesalahan administrasi tata cara pemilu, juga ada persoalan netralitas penyelenggara, politik uang di H-1 sampai menjelang pencoblosan atau yang dikenal sebagai serangan fajar, juga ada pelanggaran terkait dengan Daftar Pemilih Tetap. Misalnya, ada nama didaftar tapi tidak menerima surat panggilan. Atau sebaliknya, ada anggota keluarga yang sudah wafat tapi menerima surat panggilan,” ujarnya.
Luky menilai, apa yang terjadi di Pemilu 2024 tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan Pemilu 1992 ketika Orde Baru masih berkuasa. Akan hal itu, setelah 30 tahun Indonesia menyelenggarakan pemilu bebas, berbagai kesalahan masih terus terjadi.